Cirebon - Masih terikatnya para petani garam di Kabupaten Cirebon dengan tengkulak, membuat hasil produksi baik dari sisi kualitas maupun kwantitas menjadi kurang baik. Pasalnya, petani mengejar agar secepat agar garam bisa segera diuangkan, demi membayar hutang pada tengkulak.
Kondidi tersebut, membuat target pemerintah akan swasembada garam baik daerah maupun skala nasional, sulit tercapai.
Hal itu disampaikan Ketua Asosiasi
Petani Garam Cirebon, M Insyaf Supriyadi, menanggapi sulit tercapainya
target swasembada garam 2015, yang dicanangkan pemerintah beberapa bulan
lalu.
“Sepertinya sulit tercapai, bahkan meski
dibantu program Pugar (Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat, red) sekalipun.
Petani garam itu kebutuhannya harian, bukan mingguan. Sementara untuk
memeperoleh hasil produksi garam dengan kualitas yang baik, minimal
empat hari sampai satu minggu,” kata Insyaf.
Kondisi itulah, menurut Insyaf, yang
membuat para petani terjerat dengan tengkulak. Untuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarga, petani garam terpaksa meminjam kepada para tengkulak.
“Bagaimana kualitas garam bisa bagus
jika petani garam di sini mempercepat panen agar bisa membayar
tengkulak. Ini yang membuat kualitas dan kuantitas garam menjadi kurang
bagus,” kata Insyaf.
Pada sisi lain, lanjut Insyaf, bantuan pemerintah melalui Program PUGAR juga tidak terlalu membantu.
“Harapan kami dulu itu, adanya program
Pugar ini dapat membiayai ongkos produksi supaya petani tidak terikat
kepada tengkulak. Sehingga harganya stabil dengan kualitas garamnya yang
bagus. Nanti yang membelinya kami dari koperasi maupun asosiasi.
Ternyata Pugar ini tidak sesuai dengan harapan para petani. Padahal
program ini digulirkan selama tiga tahun berturut-turut,” ujar Insyaf.
Insyaf menjelaskan, kurangan tepatnya
sasaran program Pugar karena ada perubahan di tingkat kementrian yang
mengelola program tersebut. Dulu, lanjut Insyaf, pengelolaan Pugar ada
di Kementerian Perindustrian namun saat program mau jalan, kewenangannya
berpindah ke Kementerian Kelautan.
Perubahan kewenangan itu, menurutnya,
berimbas pada biaya bantuan per hektar yang diterima petani jadi lebih
kecil. Akibatnya penati garam masih kekurangan modal.
“Untuk dua kopang, biaya produksi dari
awal sampai dengan panen itu tidak lebih dari Rp12 juta, baik untuk
pembelian alat kincir air maupun untuk biaya lainnya. Jadi walaupun
mendapat bantuan Pugar, tetapi karena kebutuhan mereka masih kurang
sehingga tetap saja masih pinjam ke tengkulak,“ paparnya.
Selain itu, sambung dia, adanya rencana
kawasan Pantai Cirebon yang akan dijadikan zona industry, sedikit banyak
berpengaruh pada lahan petani garam. Padahal, lanjut Insyaf, secara
rencana tata ruang, Kabupaten Cirebon bukan saja menjadi tujuan industri
manufaktur namun juga ada industri yang bersifat tradisional.
”Rencana ini sedikit banyak pengaruh
terhadap hasil produksi garam Cirebon, stok secara nasional garam akan
mengalami pengurangan terutama stok daerah,“ ujarnya.
Namun menurut Insyaf, petani garam dapat memanfaatkan kemajuan teknologi untuk meningkatkan hasil produksi garam mereka.
“Seperti yang dikembangkan petani garam
di Losari. Mereka menggunakan teknik isolator. Dengan menggunakan teknik
ini, hasil produksi bisa dua kali lipat dari produksi manual yang
selama ini dilakukan,“ pungkasnya.
(Fajarnews.com).
(Fajarnews.com).
loading...
»Share or Like News:
Target Swasembada Garam 2015 Sulit Tercapai